Jakarta, CNN Indonesia --
Kisah pilu dialami warga yang menjadi korban bencana banjir dan longsor di Kabupaten Aceh Tamiang. Ada warga yang harus mencari makan dengan cara berenang dari atap ke atap karena banjir yang cukup tinggi hingga dayung perahu dua jam di tengah banjir.
Salah seorang korban di Aceh Tamiang, Muhammad Fahmi, menceritakan bagaimana dirinya bertahan di tengah bencana. Kala itu, Sabtu (29/11), warga sudah empat hari tak mendapat bantuan hingga anaknya terpaksa mencari makan berenang melewati atap demi atap.
"Di awal harus turun tangan sendiri dalam keadaan bahaya, termasuk ini anak kita, lompat ini kedalaman 3 meter lebih untuk cari makanan, udah 4 hari nggak, dia cari ke kota dari seng ke seng," kata Fahmi mengutip detikcom.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahmi mengungkapkan anaknya saat itu menempuh perjalanan 10 jam dari lokasinya mengungsi di sebuah sekolah menuju tempat bantuan dengan jarak 1 kilometer. Anaknya tiba di sana pukul 16.00 waktu setempat.
"Ke kota dari sini sekitar 1 kilometer, tapi perjalanannya mulai jam 8 (dan) jam 6 sore nyampe sana," jelasnya.
Namun, sayangnya, tidak makanan yang tersedia meskipun sudah menempuh perjalanan mengerikan itu. Anaknya kemudian mengambil roti yang hanyut dari toko-toko.
"Nggak ada (juga makanan tersedia), makanan yang hanyut-hanyut itulah dari toko-toko itu yang diambil," ujarnya.
Selaih Fahmi, Rini (46), juga menceritakan pengalamannya bersama sejumlah warga mendayung perahu memakai tangan menerobos gelapnya malam selama 2 jam dengan ketinggian air banjir mencapai 4-5 meter di Aceh Tamiang.
Rini mengatakan banjir mulai merendam permukiman pada Rabu (24/11) pagi. Namun, saat sore hari, air makin tinggi dan mereka mengungsi ke puskesmas berlantai 2 dekat rumah mereka.
"Kami kira nggak lah sampai kejadiannya seperti ini, bapak masih jualan siang, tapi sore kok air bertambah-tambah terus, kencang kali, jadi kami siap-siap antarkan ke puskesmas, puskesmas kan lantai 2," kata Rini mengutip detikcom.
Awalnya Rini bersama suami dan anaknya mulai mengungsi ke puskesmas yang berlantai 2 karena air makin tinggi di rumah mereka. Ia hanya membawa bahan makanan seadanya dan berkas ijazah saat mengungsi.
Kemudian, pada Jumat (26/11), sekitar pukul 01.00 WIB, banjir makin membesar, ketinggian air di dalam lantai 2 puskesmas mencapai sebetis orang dewasa.
Melihat situasi itu, Rini bersama sekitar 20 warga lain terdiri atas lansia hingga anak-anak naik perahu. Mereka pindah dari puskesmas menuju bukit yang lebih tinggi.
"Sudah naik ke lantai 2, jadi kami jam 1 malam naik boat menyeberang ke lebih tinggi, ada bukit tinggi," ucapnya.
Mereka meminjam perahu milik anggota DPRD Kabupaten Aceh Tamiang yang berada di samping rumah Rini. Mereka mendayung perahu menggunakan tangan dengan ketinggian air di atas pohon sawit ataupun tiang kabel listrik.
"Dari jam 1 malam kami pakai tangan (mendayung), jam 3 pagi kami sampai di pengungsian (bukit), (perahu) kami jalan di atas pohon sawit, di atas tiang-tiang kabel listrik ini, melewatinya harus hati-hati, kan takutnya nyangkut, kami muatannya 3 orang," sebutnya.
Mereka bertahan 3 hari di posko pengungsian di atas bukit. Setelah itu, pada Senin (1/12) mereka mengecek kondisi rumah meskipun banjir masih menggenangi permukiman.
Butuh air bersih dan pakaian bayi
Masyarakat korban banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang, hingga kini mengaku masih kesulitan mendapatkan pasokan air bersih.
"Kami masih sangat kesulitan mendapatkan air bersih, jangan kan untuk mandi, untuk cuci air kecil saja kesulitan," kata Awal Sulistio, warga Desa Menanggini, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang mengutip Antara.
Ia mengatakan, meski di beberapa lokasi pasokan air bersih mulai berdatangan, namun saat ini sebagian besar masyarakat korban banjir bandang di Aceh Tamiang banyak yang belum mandi berhari-hari karena kesulitan sumber air bersih.
Selain itu, kata dia, korban banjir bandang hingga saat ini tidak memiliki pakaian memadai kecuali baju di badan yang dikenakan saat bencana banjir, karena pada saat kejadian rumah warga telah rusak dan barang mereka hanyut terbawa banjir.
Selain pakaian, para pengungsi juga membutuhkan pakaian bekas bayi dan anak-anak, termasuk kebutuhan dan perlengkapan bayi, balita maupun anak-anak.
Awal mengatakan, saat ini banyak korban banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang yang mulai sakit pascabencana banjir bandang, ada pun sakit yang dialami seperti demam, batuk, pilek, gatal-gatal, hingga penyakit lainnya.
"Kalau pasokan bahan makanan alhamdulillah sudah ada, sudah lancar. Tapi kami belum mandi sejak bencana terjadi, air bersih sangat sulit sekali. Banyak rumah yang tidak bisa dibersihkan karena tidak ada sumber air," katanya.
Sebelumnya, Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi saat menerima kunjungan Kepala BNPB Suharyanto, Sabtu (6/12) menyampaikan kebutuhan mendesak untuk penanganan pascabencana banjir, terutama di wilayah pedalaman yang sulit terjangkau.
Bantuan dimaksud ialah perahu karet dengan spesifikasi khusus untuk mengarungi wilayah yang saat ini masih terisolasi diAceh Tamiang.
Meskipun bantuan logistik telah berdatangan, tetapi Aceh Tamiang masih sangat membutuhkan dukungan pusat untuk menjangkau masyarakat dan memulihkan kondisi.
Mengingat, banyak rumah warga yang terdampak, sehingga pemulihan pascabencana membutuhkan shelter dan tenda.
Baca berita lengkapnya di sini.
(tim/dal)

5 hours ago
4











































