Tidak netral yang dimaksud adalah membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada.
Kamis, 14 Nov 2024 14:23:23
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda. Tidak netral yang dimaksud adalah membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada.
Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa 'pejabat daerah' dan 'anggota TNI/Polri' ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (14/11).
Pasal 188 UU 1/2015 berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”
Menurut MK, Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. Dalam perkembangannya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).
Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.”
Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni 'pejabat daerah' dan 'anggota TNI/Polri'.
Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.
Terlebih UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.
Kondisi ini, menurut MK, menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.
Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.
Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.
"Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK, dikutip dari Antara.
MK menyatakan bahwa ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi.
Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:
"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."
Artikel ini ditulis oleh
Editor Titin Supriatin
Aturan Sanksi Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Digugat ke MK
Majelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
Putusan MK: Pejabat Boleh Ikut Kampanye Asalkan Cuti dan Dilarang Pakai Fasilitas Negara
MK memperjelas aturan syarat gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakil, serta pejabat negara dan pejabat daerah untuk bisa ikut dalam kampanye.
DPR dan Menkumham Kompak Bantah Anulir Putusan MK: Ketika Ada Hukum Baru, Hukum Lama Tak Berlaku
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK
Respons Menkumham Andi Agtas Terkait Putusan MK Ubah Ambang Batas Pilkada
MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon
MK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Pj Kepala Daerah Dicopot karena Tak Netral Jelang Pemilu, BKN Beri Penjelasan Begini
BKN terus mengimbau seluruh pegawai ASN untuk berhati-hati di tahun politik, karena banyak hal yang dapat menyebabkan pegawai ASN terlibat politik praktis.
BKN 1 tahun yang lalu
Senyum Lebar Sekjen PDIP Hasto Saat Dengar MK Ubah Aturan Pilkada
Sekjen PDIP Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK.
PDIP 3 bulan yang lalu
MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres, Kenapa Ambang Batas Presiden Ditolak?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Begini Putusan Baru MK soal Pilkada, Syarat Calon Kepala Daerah
Putusan ini menjadi polemik karena dibacakan beberapa hari jelang pendaftaran calon kepala daereah 27 Agustus 2024.
PDIP: Pro Kontra Putusan MK karena Ada Intervensi Kepentingan Politik
PDIP menilai seharusnya MK hanya menguji undang-undang apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
MK Ubah Syarat Pilkada, PDIP Rapatkan Barisan Tunggu Perintah Megawati
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada.
PDIP 3 bulan yang lalu